Thursday, November 4, 2010

Konsep Ekonomi Islam dalam Fiqih #1

Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.


Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu Allah, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu Allah berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.

Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.

Sumber-sumber Fiqih
Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu:
Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.

Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.

Al-Hadist.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:
“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.

Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.

Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.

No comments:

Post a Comment